Awal
tahun 2015 lalu, saya dihubungi oleh salah satu kerabat untuk bergabung dengan “kompolan”
(yaitu perkumpulan yang diisi dengan aktivitas spiritualitas dan perekonomian
yang biasa dilakukan oleh masyarakat Madura) yang dia dirikan bersama dengan
pemuda-pemuda di sekitar tempat tinggal saya. Kompolan ini sudah berjalan 2
tahun dan saat ini sudah masuk tahun ke-3. Bulan Sya’ban lalu, kompolan ini tutup
buku dengan pembagian dana hasil usaha kompolan dalam bentuk sembako.
Kompolan
ini berjalan setiap minggu dengan diawali doa bersama yang dilanjutkan dengan
penarikan iuran wajib sebesar Rp. 1.000,- dan pengumpulan tabungan dari
anggota. Hasil tabungan dari anggota digunakan untuk simpan pinjam tanpa agunan
dan bunga. Bagi anggota yang meminjam, maka jumlah pinjaman harus dikembalikan sebesar
uang pinjaman tersebut dengan ditambahi “hasanah” seikhlasnya. hasanah ini
tidak diwajibkan serta tanpa jumlah minimal. Selain itu, uang yang terkumpul
dari tabungan juga digunakan untuk modal produktif kepada warung-warung yang
membutuhkan modal.
Kompolan
ini walaupun sudah berjalan selama 3 tahun, namun pengelolaannya masih sangat
sederhana. Hal yang menarik adalah kompolan ini dijalankan berdasarkan semangat
gotong royong antar anggota tanpa kepentingan untuk mendapatkan untung yang
banyak. Semangat gotong royong antar anggota ini dapat dilihat dari pembangunan
mushala di daerah tersebut yang menggunakan dana yang didapat melalui iuran
wajib tadi. Sedangkan untuk tabungan tidak ditentukan besarannya. Selain itu,
untuk mempercepat proses pembangunan mushola ini, pengurus kompolan menarik
iuran swadaya kepada masing-masing rumah di sekitar daerah mushola setiap
bulannya.
Berikutnya,
dari salah satu teman, saya mendapatkan kompolan yang serupa. Di daerahnya kompolan
ini dinamakan “Kompolan Chuko’”. Nama "Kompolan Chuko'" diambil
karena tutup buku kompolan ini dilakukan menjelang datang hari raya Idul Fitri
tepatnya ditandai dengan menyembelih sapi yang dagingnya dikonsumsi saat hari
besar Islam tersebut.
Dalam
operasionalnya, dana untuk membeli sapi, didapatkan dari iuran mingguan saat kompolan
itu dihelat. Besarnya, Rp. 4.000,- per anggota. Uang yang terkumpul dalam
setiap minggunya, diputar, dipinjamkan lagi kepada sesama anggota yang
membutuhkan. Para peminjam itu, dikenai "hasanah" seikhlasnya.
Maksudnya, uang yang dipinjam ke kompolan ini, dikembalikan dengan nilai lebih.
Misal, minjam uang Rp. 100 ribu, maka saat mengembalikannya dianjurkan lebih
dari Rp. 100 ribu. Nilainya, sekali lagi, tergantung keikhlasan peminjam. Uang
lebih itu kemudian diakumulasikan dengan uang kompolan yang tiap minggu
mendapatkan tambahan dari anggota yang kemudian diputar- dipinjamkan lagi. Bagi
para peminjam, proses pengembaliannya tidak sekaligus. Tapi dicicil setiap
minggu sekali saat kompolan terselenggara. Jika jumlah pinjaman Rp. 100 ribu,
maka peminjam berkewajiban mencicil Rp. 10 ribu per minggu, berlaku
kelipatannya.
Di
dalam kompolan ini, sebelum setoran uang dan proses pinjam-meminjam dilakukan, dilakukan
terlebih dahulu pembacaan Yaasin dan Tahlil. Yaasin dan Tahlil dikhususkan kepada
sanak keluarga yang terlebih dahulu meninggal dunia. Juga, sebagai permohonan
bersama-sama supaya hidup selalu dalam petunjuk Allah dalam menggapai
keberkahan dan ketenteraman hidup.
Dari
dua kompolan ini, dapat kita ambil pembelajaran bahwa ekonomi syariah sebenarnya
sudah banyak dilakukan di masyarakat bawah. Kompolan ini memang tidak
menggunakan akad-akad yang sudah mempunyai fatwa dari DSN MUI, namun prinsip
dan tujuannnya sebenarnya sama. Pinjaman yang diberikan jika kita lihat dari
fatwa DSN MUI maka akan masuk dalam akad Qardh. Dalam akad Qardh peminjam
dilarang mengambil tambahan jika disyaratkan dalam pernjanjian akad.
Kembali
ke atas, kerabat tersebut meminta saya untuk bergabung agar kompolan ini dapat
berjalan sesuai syariah. Saat ini saya sedang mengambil kuliah pascasarjana
dengan konsentrasi Ekonomi Islam. Perkumpulan-perkumpulan di masyarakat seperti
diatas perlu kita berikan pemahaman tentang keuangan syariah untuk mengangkat
perekonomian dan kesejahteraan mereka. Belajar dari dakwah walisongo, untuk
memasyarakatkan keuangan syariah maka keuangan syariah itu sendiri pun harus
berada dalam setiap kegiatan sehari-hari masyarakat. Maka menjadi tugas kita
untuk memasyarakatkan keuangan syariah kepada masyarakat, dan tidak hanya
terfokus di dunia pendidikan dan perbankan syariah.
Hihihi, ide yang segar dan aplikatif.
BalasHapus